Skip to main content

Tentang Pilihan

Tentang Pilihan

Karya: Arfi K. Fitrian

 

Lembayung matahari mulai meredup. Warna biru kehitam-hitaman mulai menggerayangi langit. Di pinggir pantai tepat di atas batu karang yang sudah mati, Nadia duduk terdiam menatap kosong ke arah barat. Tak ada rasa bahagia yang tertinggal dalam dirinya meskipun setitik.
 
Sudah enam bulan sejak sebuah tragedi menimpa orang terdekat Nadia. Memori kelam yang tidak pernah bisa dihapus dari ingatan Nadia. Kejadian yang tak meninggalkan apa pun kecuali rasa kehilangan.
 
Banyu namanya, pasangan sekaligus sahabat bagi Nadia untuk melakukan berbagai petualangan menyenangkan. Empat tahun yang lalu, pantai tempat Nadia berada saat ini adalah tempat pertama kali mereka bertemu secara kebetulan. Nadia yang sedang patah hati dan Banyu yang suka menyendiri. Seperti dalam dongeng, keajaiban muncul di tengah-tengah mereka. Lantas akrab dalam seketika seperti sudah saling kenal bertahun-tahun.
 
Sejak pertemuan pertama itu, Nadia dan Banyu mewujudkan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Pertemuan sederhana di pinggir jalan raya hingga pertemuan sederhana di sebuah kedai kopi murahan yang tak pernah terpikir untuk didatangi oleh Nadia. Banyu seakan memberikan warna baru dalam keabu-abuan hidup Nadia.
 
Kebersamaan Nadia dan Banyu selama ini membuat mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Dua insan muda yang berjiwa bebas akhirnya menjadi terikat satu sama lain. Setelah hampir 3 tahun berkelana di savana kehidupan, Nadia dan Banyu mengucapkan janji setia atas nama pemilik semesta.
 
“Atas nama pemilik semesta, aku berjanji untuk selalu ada di sisimu dalam keadaan apa pun. Aku berjanji akan melindungimu dari derasnya badai, kencangnya angin, dan mengerikannya ombak di samudera. Aku berjanji akan memberikan bintang paling terang yang bisa kuraih untuk menerangi malammu.”
 
“Atas nama pemilik semesta, kini hanya maut yang akan memisahkan kita. Hanya maut.”
 
Fase baru dalam kehidupan Nadia dan Banyu, membawa mereka menuju sebuah petualangan baru. Sepasang merpati muda sudah siap terbang menembus langit bersama-sama. Tak peduli sepanas apa pun sengatan cahaya matahari atau sedingin apa pun badai melanda. Mereka adalah bukti bahwa cinta dapat sekuat materi terkuat yang pernah ditemukan manusia.
 
Sore itu matahari bersinar di balik awan yang sedikit mendung. Di dalam rumah yang disewanya bersama Banyu, Nadia sudah berkemas untuk perjalanan pertamanya sebagai seseorang yang telah dimiliki. Alih-alih memilih bulan madu ke daerah wisata terkenal seperti banyak pasangan baru pada umumnya, Banyu mengajak Nadia ke pantai tempat mereka bertemu. Sebuah pantai biasa yang bisa ditempuh selama satu episode sinetron di televisi.
 
Petualangan Nadia dan Banyu dimulai dengan menaiki sepeda motor model lama yang dibeli Banyu sesaat setelah ia lulus kuliah. Kalau boleh memilih, Banyu lebih suka tidak ada kendaraan bermotor di dunia ini. Menurutnya, kendaraan bermotor terlalu banyak andil dalam membuat bumi kehilangan kehidupan. Namun apa daya, motor miliknya menjadi suatu kebutuhan baginya sebagaimana kendaraan lain bagi orang lain, terutama yang tinggal di perkotaan.
 
Ketika matahari mulai merendah menggapai cakrawala, Nadia dan Banyu sampai di pantai itu. Waktu yang tepat untuk melihat betapa ramahnya matahari dan rembulan saling berbagi ruang untuk menampakkan diri. Waktu yang tepat untuk dikenang semua orang yang sedang menghadap ke barat di pantai itu. Dalam iringan lembut deburan ombak, mereka menikmati senja yang hangat hingga warnanya memudar sepenuhnya.
 
Banyu mendirikan tenda untuk berkemah di pinggir pantai. Ia juga telah menyusun kayu bakar untuk menghangatkan diri di malam hari. Pengetahuannya tentang peralatan semacam itu memang luar biasa. Sebelum mengenal Nadia, ia sering berkelana sendiri ke tempat-tempat yang tak banyak diketahui orang. Tujuannya hanya sekadar mengasingkan diri dari bisingnya kota tempat ia tinggal.
 
Pada saat itu, tidak ada orang yang lebih bahagia dari Nadia di seluruh dunia. Hatinya seakan dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu warna-warni. Jiwanya menyuarakan kebersyukuran atas sebuah pertemuan tidak sengaja yang pernah terjadi di tempat itu. Bersama orang terkasih, memiliki dunia hanya untuk berdua.
 
Kini Nadia masih terduduk di pinggir pantai, mengungkit ingatan-ingatan terbaiknya bersama Banyu. Ia mencoba mengembalikan kebahagiaan yang pernah singgah dalam dirinya. Namun lagi-lagi hanya kejadian kelam itu yang terlintas di pikirannya. Sebuah kejadian sehari setelah malam terbaik seumur hidupnya.
 
Nadia dan Banyu menghabiskan malam di depan api unggun yang hangat. Mereka berbincang tentang rencana masa depan. Tentang angan-angan yang ingin mereka capai berdua.
 
“Aku ingin punya rumah sederhana dengan kebun kecil di halaman belakangnya supaya kita bisa mengajari dua anak kita untuk menanam sayuran sendiri. Aku juga ingin memelihara seekor kucing, atau sepasang juga tak apa.” Semangat membara Nadia dibalas dengan senyum hangat dari bibir pasangannya.
 
“Tentu saja, Nad. Kita akan mewujudkan semuanya. Satu persatu.”
 
Matahari pagi bersinar cerah, secerah hati sepasang insan muda yang baru saja terbangun di dalam tenda. Embun pagi masih sedikit tersisa di atas tenda; sisanya telah menguap karena kehangatan yang terjadi di dalamnya. Angin laut bertiup ke arah mereka mereka. Deburan ombak tak mau kalah dengan desiran angin yang membuat daun-daun pohon kelapa di sekitarnya saling bergesekan. Suara-suara itu menambah kesyahduan iringan lagu dari band favorit mereka yang diputar oleh Banyu.
 
Bangun
Sebab pagi terlalu berharga
Tuk kita lewati
Dengan tertidur
 
Bangun
Sebab hari terlalu berharga
Tuk kita lalui dengan
Bersungut-sungut
 

 
Berjalan lebih jauh
Menyelam lebih dalam
Jelajah semua warna
Bersama bersama bersama
 
Pagi yang sempurna bagi Nadia dan Banyu untuk memulai hari bahagia selanjutnya. Banyu menyeduh kopi untuk mereka berdua. Nadia masih berada di dalam selimut, tergulung bak kepompong. Banyu menyuguhkan kopi yang diseduhnya kepada Nadia. Aroma khas kopi tak bisa ditolak oleh Nadia, ia pun beranjak dari balik selimut. Mereka duduk, melihat ke pantai tanpa mengeluarkan sepatah kata.
 
Selagi Nadia dan Banyu menikmati angin laut, seorang perempuan, beberapa tahun lebih tua dari mereka, menghampiri dengan wajah penasaran.
 
“Banyu?” Ternyata perempuan itu mengenalnya. Banyu terlihat terkejut, lantas berdiri sambil melihat ke arah perempuan itu. Banyu dan perempuan itu kini berdiri saling berhadapan. Entah apa yang memicunya, perempuan itu menampar Banyu keras-keras. Nadia terkejut dan dengan spontan ia berdiri melangkah ingin membalas, tak terima dengan apa yang dilakukan oleh perempuan itu. Banyu menahannya.
 
“Sudah kubilang ‘kan untuk tidak menampakkan wajahmu itu di sini lagi?” Perempuan itu mendesak Banyu. Nadia menyadari ada raut kecewa dan marah yang telah lama tersimpan dari perempuan itu. Banyu hanya diam. Ketika air mata mulai turun dari wajah perempuan itu, seorang laki-laki datang menghampiri, kemudian memisahkannya dari Banyu.
 
“Siapa?” Hanya kata itu yang dapat terlontar dari bibir Nadia. Banyu memeluknya erat, tak kuasa untuk tidak menitikkan air mata.
 
“Kak Momo namanya, ….” Banyu menjelaskan semuanya pada Nadia.
 
Banyu yang selama ini dikenalnya, yang selama ini selalu bersama, ternyata memiliki masa lalu kelam. Ia pernah menghancurkan hidup seorang perempuan hingga putus asa, hingga orang tersebut memutuskan untuk tidak lagi menjalani hidup. Kak Momo ternyata adalah seorang kakak bagi orang tersebut. Wajar saja ia begitu marahnya melihat Banyu.
 
Semesta seolah merasakan perasaan Nadia yang berkecamuk. Awan mendung mulai datang seiring sendu yang mendatangi Nadia. Angin laut yang kini terasa dingin bertiup ke hati Nadia yang bingung. Kepiting-kepiting kecil berlarian ke dalam lubangnya, burung-burung camar terbang menjauh dari pantai, menghindari suasana tidak mengenakkan yang terjadi di antara Nadia dan Banyu.
 
Nadia dan Banyu memutuskan untuk pulang setelah kejadian itu. Entah apa yang akan terjadi pada dua orang yang sehari sebelumnya saling membahagiakan. Keheningan terjadi sepanjang perjalanan pulang mereka. Tak satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan.
 
Seharian Nadia mengurung diri di dalam kamar. Rumah kontrakan mereka bahkan merasa canggung dengan tingkah laku penghuninya. Nadia tak kuasa menahan emosinya tapi tak bisa menyalurkannya. Ia hanya terdiam dan terlelap karena kelelahan.
 
Nadia mengingat kembali momen itu. Momen sesaat setelah Banyu menceritakan semuanya. Momen ketika mereka tak berkata-kata sepanjang jalan pulang pada hari itu. Ia berteriak, mengeluarkan semua kobaran emosinya, tak peduli dengan orang lain di sekitarnya. Momen ketika ia mengurung diri di kamar hingga terlelap. Momen ketika ia terbangun di keesokan paginya tanpa kehadiran Banyu di dalam rumah.
 
Sehari setelah Banyu menjelaskan semuanya di pantai, Nadia terbangun ketika embun pagi tak lagi tampak. Ketika ia keluar dari kamar, tak terlihat Banyu di dalam rumah. Motornya bahkan tak ada di tempat biasanya terparkir. Pikir Nadia, mungkin Banyu juga perlu menenangkan diri setelah kejadian itu.
 
Telepon genggam milik Nadia tiba-tiba berdering. Nama Banyu tertulis di layar. Tangan Nadia meraih telepon genggamnya, ia menjawab panggilan tersebut. Suara Banyu tidak terdengar. Hanya suara seorang lelaki yang terdengar agak panik, memberi kabar bahwa Banyu mengalami kecelakaan parah.
 
Tatapan Nadia kosong setelah mendengar kabar dari lelaki tersebut. Ia tak dapat berkata-kata. Raut wajahnya berubah menjadi sedih bercampur panik. Nadia hampir menjatuhkan telepon genggamnya. Terlihat air menitik dari matanya. Segera setelah menutup telepon, ia bergegas menuju lokasi  yang diberikan oleh lelaki tersebut.
 
Tak ada kabar gembira yang diterima Nadia ketika sampai. Hanya sebuah permintaan maaf dari dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat. Nadia merasa seolah dunia telah berakhir. Kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Jiwanya seakan ditarik keluar dari tubuhnya.
 
Kini enam bulan telah berlalu. Nadia masih termenung di pinggir pantai. Di dalam kepalanya sedang terjadi perang besar antara Nadia dengan pikirannya sendiri. Sebagian dari dirinya ingin mengakhiri hidupnya karena merasa bersalah atas kejadian Banyu. Sebagian lagi berusaha untuk menerima kejadian itu dan melanjutkan hidup normal.
 
Keputusan telah dibuat. Nadia memanjat ke sebuah tebing batuan di pantai itu. Ia melihat sinar terakhir yang diberikan oleh matahari pada bumi di hari itu. Nadia menyadari bahwa selalu ada tenggelam setelah terbit. Seperti matahari, ia memilih untuk terbenam. Ia memilih untuk terbenam, kemudian bangkit kembali di hari esok dengan lebih cerah. Nadia membuang semua perasaan sedih itu. Nadia memilih untuk melanjutkan hidupnya, menjelajah lebih banyak dan menyelam lebih dalam lautan warna dunia. Demi dirinya sendiri, Banyu, dan Banyu kecil yang masih berada di dalam kandungan.

Yoygakarta, Juli 2022

Comments

Popular posts from this blog

Sajak Bumi: Kepada Awan yang Aku Cinta

Kepada awan yang kukasihi, Terkadang memandangmu saja aku lemah. Merasa sangat tak berdaya akan kuasamu di angkasa. Kepada awan yang kusayangi, Betapa dermawannya engkau selalu mengguyurkan hujanmu padaku. Sedang aku hanya diam tak tau harus membalas apa. Kepada awan yang kucintai, Meski engkau berada nun di seberang dunia, bukan berarti aku tak boleh mencintaimu; bukan juga berarti aku tak bisa mendapatkan cinta darimu. Tata Surya, 28 Juni 2023 Dengan cinta dan kasih sayang, Bumi

Hujan yang Pergi Tanpa Pamit

  HUJAN YANG PERGI TANPA PAMIT Rintik sendu mengiringiku menulis sebuah puisi dialektis Sambil duduk di sudut kedai kopi, aku menyeruput makna-makna filosofis Hujan yang kulihat di luar jendela tak kunjung berhenti Tak pernah lelah membasahi dan memainkan hati Di tengah gempuran badai, sang hujan berkata padaku Tentang pengharapan yang tak seharusnya menerungku Benakku langsung percaya begitu saja Tanpa berpikir panjang, otakku berhenti bekerja Entah apa alasannya, tak nampak lagi tetesan air di luar Ia telah digantikan oleh sebuah bintang yang meyuar Hanya meninggalkan pertanyaan yang membuat pikiranku masai Karenanya, puisiku tak pernah selesai Yogyakarta, 1 Oktober 2022 Arfi K. Fitrian